Lentera Post – Jakarta, InfoPubli, Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Sokhib Al Rokhman, menegaskan bahwa aspek keselamatan (safety) dan keamanan (security) penerbangan kini telah mencapai tahap final dan menjadi kewajiban mutlak (mandatory) bagi seluruh operator penerbangan di Indonesia.
Penegasan ini disampaikan dalam acara Press Background Kementerian Perhubungan bersama wartawan Forum Jurnalis Perhubungan (Forwahub) di Jakarta, Kamis (23/10/2025). “Safety dan security itu sudah final. Siapa pun yang tidak patuh terhadap standar tersebut, sertifikat operasionalnya bisa disuspensi atau direport,” tegas Sokhib di hadapan awak media.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa industri penerbangan global kini telah bergeser dari isu keselamatan menuju fokus baru, yakni sustainability dan efficiency ambition. Kemenhub, melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, tengah berupaya memastikan industri penerbangan nasional mampu beradaptasi dengan tuntutan keberlanjutan global pasca pandemi COVID-19 dan tekanan harga bahan bakar. “Pandemi COVID-19, kenaikan harga avtur, dan fluktuasi nilai dolar memberikan tantangan besar bagi industri penerbangan. Karena itu, arah kita sekarang adalah membangun penerbangan yang berkelanjutan dan efisien,” ujarnya.
Salah satu langkah konkret yang dijalankan adalah program ECO-CAP-Port, yang bertujuan menurunkan emisi gas rumah kaca di bandara. Selain itu, Kemenhub juga memperkuat pengelolaan BIPA (Bahan Bakar Pesawat Alternatif)*serta mendorong optimalisasi pusat perawatan pesawat udara (AMO Center) agar ramah lingkungan.
Menurut Sokhib, Indonesia kini telah memiliki sistem penghitungan karbon secara komprehensif di seluruh bandara. “Kalau dulu kita tidak tahu berapa emisi yang kita hasilkan, hari ini kita sudah bisa menghitung nilai karbon di setiap bandara. Target kami, tahun 2027 seluruh bandara dan industri terkait harus memiliki kemampuan menghitung emisi karbonnya sendiri,” jelasnya.
Dari hasil pemantauan, emisi gas rumah kaca di bandara Indonesia tercatat sekitar 234 ribu ton CO₂ per tahun. Namun, melalui berbagai inovasi hijau, angka itu perlahan dapat ditekan.
Beberapa upaya yang telah dilakukan antara lain pemasangan panel surya (solar panel) di 54 bandara, penerapan lampu tenaga surya (solar power lighting) di 106 bandara dan 3 kantor otoritas bandara, serta penggunaan lampu LED secara penuh di 18 bandara.
Hasilnya, Indonesia mampu menghemat sekitar 27.000 ton CO₂ dari solar cell, 1.991 ton dari solar power lighting, dan 28.000 ton dari penggunaan LED.
Selain itu, Kemenhub juga meluncurkan program Injurni Efficient Services, hasil penggabungan sejumlah entitas layanan kebandarudaraan seperti Gapura Ground Handling. Fokusnya adalah modernisasi peralatan bandara dengan sistem ground handling berbasis listrik (electrical ground handling). “Target kami, seluruh peralatan di darat akan beralih ke sistem listrik agar lebih ramah lingkungan dan efisien,” terang Sokhib.
Sokhib juga menyoroti pentingnya pengelolaan limbah di bandara, termasuk limbah berbahaya dan limbah cair. Ia mencontohkan praktik pengelolaan limbah penerbangan di Jepang, di mana setiap sampah dari pesawat internasional dikembalikan ke negara asal, bukan dibuang di bandara tujuan. “Bandara Jepang tidak menerima sampah dari negara lain. Kita perlu meniru hal itu agar bandara Indonesia tidak menjadi tempat penumpukan limbah penerbangan internasional,” imbuh Sokhib.
Bahan Bakar Ramah Lingkungan
Dalam mendukung transisi energi bersih, pemerintah juga mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan (low carbon emission fuel) dengan target campuran biofuel mencapai 30 persen pada 2030. “Negara-negara Eropa sudah menuju ke sana, dan Indonesia juga harus siap menghadapi era bahan bakar hijau,” katanya.
Untuk mendukung industri aviasi berkelanjutan, Kemenhub mencanangkan pembangunan tiga pusat perawatan pesawat udara (AMO Center) di wilayah barat (Batang, Kertajati), tengah (Makassar), dan timur (Kimia dan Sentani). “Dengan sistem terpusat, kita bisa mengontrol potensi limbah dan emisi dari kegiatan perawatan pesawat. Selain itu, kita membuka peluang investasi global di sektor ini,” ujar Sokhib.
Menutup paparannya, Sokhib menyoroti perkembangan teknologi pesawat nirawak (UAS – Unmanned Aircraft System) dan Air Transport Mobility, yakni drone besar yang mampu mengangkut penumpang. “Drone kecil sudah mencapai 5.000 unit terdaftar di sistem kami, dengan 11.000 pilot bersertifikat. Ke depan, kita menargetkan uji operasi drone komersial penumpang pertama pada Desember 2026” ungkapnya.
Dua manufaktur lokal, ERA dan InterAero, tengah bersiap memproduksi UAS secara nasional. “Ini bagian dari visi Kemenhub untuk menghadirkan inovasi transportasi masa depan buatan Indonesia,” tambahnya.
Sokhib menutup dengan menegaskan bahwa seluruh langkah ini sejalan dengan arahan Menteri Perhubungan dan visi pemerintah untuk menciptakan industri penerbangan yang aman, efisien, dan berkelanjutan. “Keselamatan adalah fondasi, keberlanjutan adalah masa depan. Kita harus siap menghadapi transformasi global di sektor aviasi,” tutupnya.