Oleh: Razkhe Triananda – Mahasiswa Universitas Siliwangi
Lentera Post – Di tengah ketegangan geopolitik global, Singapura berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi 4,4% pada 2024 dan diproyeksikan tumbuh 2,8% pada 2025. Sementara Indonesia yang jauh lebih besar tumbuh 5,0%, namun masih bergulat dengan persoalan struktural. Pertanyaannya: apa yang membuat negara kecil ini “memukul di atas kelasnya”? Jawabannya terletak pada pilihan rasional yang konsisten. Teori Rational Choice menjelaskan: Singapura menghitung setiap keputusan geopolitik untuk memaksimalkan utilitas nasional jangka panjang. Mereka memilih netralitas aktif membangun hubungan strategis dengan AS dan China tanpa berpihak kaku. China sebagai mitra dagang terbesar, AS sebagai payung keamanan regional.
Posisi Strategis yang Dioptimalkan
Keberhasilan dimulai dari optimalisasi posisi geografis di Selat Malaka. Namun, keunggulan ini tak berarti tanpa kebijakan omnidirectional yang tepat. Data 2024 menunjukkan Singapura menangani lebih dari 600 juta ton kargo, ditambah alokasi 5 miliar dolar untuk Future Energy Fund.

Gambar 1.2 Data kargo yang melalui pelabuhan di Singapura
Sumber: (The Straits Times, 2025)
Data terbaru menunjukkan bahwa pada 2024, Singapura menangani lebih dari 600 juta ton kargo melalui pelabuhan, menjadikannya salah satu pelabuhan tersibuk di dunia. Investasi infrastruktur terus digenjot, termasuk alokasi 5 miliar dolar Singapura untuk Future Energy Fund yang mendukung transformasi energi berkelanjutan. Ini bukan hanya investasi fisik, tetapi investasi strategis yang memposisikan Singapura sebagai hub energi hijau masa depan.

Gambar 1.3 Indeks Perdagangan Berkelanjutan
Sumber: (GoodStats, 2024)
Bandingkan dengan Indonesia. Meski memiliki 17 ribu pulau dan posisi strategis serupa, Indonesia masih berjuang dengan efisiensi logistik. Menurut laporan (GoodStats, 2024), Indonesia tertinggal dari Singapura dalam hal fasilitas perdagangan dan hambatan tarif yang masih tinggi. Keterbukaan ekonomi Indonesia (diukur dari jumlah ekspor dan impor terhadap PDB) jauh lebih rendah dibanding negara-negara ASEAN-6 lainnya. Ini bukan soal nasib, tetapi pilihan kebijakan yang belum optimal.
Diversifikasi dan Inovasi Sebagai Kunci
Rational choice theory mengajarkan bahwa aktor rasional akan menghindari ketergantungan pada satu sumber daya atau sektor. Singapura menerapkan ini dengan konsisten. Sejak 1960-an, ketika masih bergantung pada perdagangan dan manufaktur sederhana, Singapura secara bertahap melakukan diversifikasi ke sektor bernilai tambah tinggi: elektronik, bioteknologi, layanan keuangan, dan teknologi digital.

Gambar 1.4 Proporsi Perusahaan Manufaktur Indonesia
Sumber: (Olahan Penulis, 2025)
Pada tahun 2024, sektor manufaktur Singapura, khususnya elektronik, kembali menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan, didorong oleh permintaan semikonduktor global untuk kecerdasan buatan, setelah mengalami kontraksi keseluruhan sebesar 4,3% pada tahun 2023 (dengan output elektronik spesifik turun 3,2%). Pada kuartal kedua tahun 2024, sektor manufaktur tumbuh tipis 0,5% secara tahunan (YoY). Sektor jasa juga menunjukkan pertumbuhan yang solid, dipimpin oleh akomodasi (naik 12,1%) dan teknologi informasi-komunikasi (naik 5,7%). Singapura tidak hanya menjadi produsen, tetapi juga menjadi pusat riset dan pengembangan (R&D), dengan pengeluaran R&D mencapai lebih dari 2% dari PDB.
Indonesia, sebaliknya, masih sangat bergantung pada komoditas primer. Meski pemerintah gencar mempromosikan hilirisasi (downstreaming), implementasinya masih tersendat. Data menunjukkan bahwa hanya 3% perusahaan manufaktur menengah-atas di Indonesia yang melakukan R&D, dan 4,7% yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Artinya, 92,3% perusahaan tidak melakukan keduanya. Pengeluaran R&D Indonesia di bawah 0,3% dari PDB, jauh tertinggal dari Thailand (1,3%) dan Malaysia (1%).
Diplomasi Ekonomi yang Agresif
Singapura tidak menunggu peluang datang, tetapi aktif menciptakannya. Pada 2024, Singapura meluncurkan Johor-Singapore Special Economic Zone (JS-SEZ), sebuah solusi inovatif untuk mengatasi keterbatasan lahan dan tenaga kerja. Zona ekonomi khusus ini dirancang untuk menarik investasi dan memperkuat konektivitas regional. Ini adalah contoh bagaimana Singapura mengubah keterbatasan menjadi peluang melalui kerja sama pragmatis.
Selain itu, Singapura memainkan peran penting sebagai fasilitator Belt and Road Initiative (BRI) China di Asia Tenggara. Meski tidak terlalu membutuhkan proyek infrastruktur BRI karena sudah maju, Singapura menempatkan diri sebagai penasihat keuangan dan konsultan proyek bagi negara-negara ASEAN lainnya. Pengalaman kelembagaan dan koneksi dengan bank komersial membuat Singapura menjadi mitra yang berharga, baik bagi China maupun negara penerima investasi.
Indonesia, dengan ekonomi yang jauh lebih besar (PDB 1,37 triliun dolar AS pada 2023), seharusnya bisa mengambil peran serupa atau bahkan lebih besar. Namun, kompleksitas birokrasi dan inkonsistensi regulasi menjadi penghambat. Menurut World Bank’s Ease of Doing Business, Singapura menempati peringkat 2 global, sementara Indonesia di posisi 73. Gap ini mencerminkan perbedaan fundamental dalam tata kelola dan efisiensi administratif.
Tantangan yang Tidak Terelakkan
Namun, strategi Singapura bukan tanpa risiko. Ketergantungan pada perdagangan global membuat negara ini sangat rentan terhadap guncangan eksternal. Kebijakan proteksionis AS di bawah administrasi Trump 2.0 berpotensi mengganggu aliran perdagangan. Begitu pun ketegangan AS-China yang meningkat bisa memaksa Singapura untuk memilih sisi, sesuatu yang selama ini dihindari dengan hati-hati.
Data dari ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menunjukkan bahwa pertumbuhan Singapura diproyeksikan melambat menjadi 2,6% pada 2025 dan 2,0% pada 2026, terutama akibat dampak tarif AS dan perlambatan perdagangan global. Inflasi yang mereda menjadi 0,9% pada 2025 memang memberikan ruang bagi kebijakan moneter yang lebih akomodatif, namun ketidakpastian eksternal tetap menjadi ancaman utama (Cheng & Okawa, 2025).
Indonesia menghadapi tantangan yang berbeda tetapi tidak kalah serius. Meski memiliki pasar domestik besar yang menjadi buffer terhadap guncangan eksternal, Indonesia harus mengatasi hambatan struktural: rasio pajak yang rendah (sekitar 10% dari PDB), ekonomi informal yang masih masif (59,2% angkatan kerja), dan infrastruktur yang belum merata. Laporan IMF 2024 menyoroti bahwa Indonesia tertinggal dalam tata kelola, kualitas regulasi, dan efektivitas pemerintahan dibanding negara-negara OECD.
Pilihan Rasional untuk Indonesia
Jika kita menggunakan lensa rational choice theory, apa yang harus dilakukan Indonesia? Pertama, optimalkan aset geografis. Indonesia bisa belajar dari strategi intermediary Singapura tidak hanya sebagai produsen komoditas, tetapi sebagai hub logistik, finansial, dan teknologi regional. Ibu kota baru Nusantara, misalnya, harus dirancang bukan hanya sebagai pusat administrasi, tetapi sebagai smart city yang menarik investasi teknologi tinggi.
Kedua, reformasi struktural yang konsisten. Indonesia perlu meningkatkan rasio pajak dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan efisiensi administrasi. Sektor informal harus diformalkan secara bertahap dengan insentif yang tepat. Investasi dalam R&D dan pendidikan STEM harus digenjot bukan hanya retorika, tetapi dengan alokasi anggaran yang signifikan dan terukur.
Ketiga, diplomasi ekonomi yang lebih agresif dan terkoordinasi. Indonesia harus memanfaatkan posisinya sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara untuk memimpin integrasi regional. Kemitraan ekonomi dengan India, yang meningkat 48% menjadi 38,84 miliar dolar AS pada 2023, adalah langkah yang tepat. Namun, diversifikasi mitra dagang harus terus diperluas, tidak hanya bergantung pada China, AS, dan Jepang.
Keempat, konsistensi regulasi dan pemberantasan korupsi. Ketidakpastian hukum dan korupsi adalah musuh terbesar investasi. Singapura sukses karena memiliki sistem hukum yang transparan, penegakan hukum yang tegas, dan birokrasi yang efisien. Indonesia perlu meniru ini bukan dengan cara otoriter, tetapi dengan memperkuat lembaga checks and balances dan meningkatkan akuntabilitas publik.
Belajar dari yang Terbaik
Singapura membuktikan bahwa ukuran bukan segalanya. Dengan strategi geopolitik yang terkalkulasi, diplomasi ekonomi yang agresif, dan komitmen pada inovasi, negara kecil itu mampu bersaing di level global. Rational choice theory menjelaskan: keberhasilan adalah hasil dari pilihan-pilihan rasional yang konsisten, bukan keberuntungan.
Indonesia memiliki semua modal untuk menjadi kekuatan ekonomi regional yang dominan: populasi besar, sumber daya alam melimpah, dan posisi geografis strategis. Yang masih kurang adalah pilihan kebijakan yang tepat dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Saatnya Indonesia tidak hanya mengagumi keberhasilan Singapura, tetapi juga belajar dari pilihan-pilihan rasional yang mereka buat.
Pertanyaan untuk kita semua: apakah kita siap membuat pilihan-pilihan sulit yang diperlukan untuk kemajuan jangka panjang? Ataukah kita akan terus terjebak dalam zona nyaman yang menghambat potensi sejati bangsa ini? Pilihan ada di tangan kita dan pilihan itu harus rasional.
Daftar Pustaka
Adrison, V., & Dauchy, E. (2024). “Fiscal Sustainability in Indonesia: Policies and Progress.” Asian Economic Policy Review, February 2024. https://doi.org/10.1111/aepr.12468
ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO). (2025). “Managing Singapore’s Growth and Resilience Amid Global Economic Shifts.” March 10, 2025. https://amro-asia.org
ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO). (2025). “Strengthening Policy Synergy for Indonesia’s Stability and Growth.” March 5, 2025. https://amro-asia.org
Cheng, K. C., & Okawa, Y. (2025). Mengelola Pertumbuhan dan Ketahanan Singapura di Tengah Pergeseran Ekonomi Global. AMRO Kantor Penelitian Makroekonomi ASEAN+3. https://amro-asia.org/managing-singapores-growth-and-resilience-amid-global-economic-shifts
Chong, A. (2024). “Singapore’s Diplomatic Strategies: Prioritizing Rationality, Encountering Slippages.” In J.A. Braveboy-Wagner (Ed.), Diplomatic Strategies of Rising Nations in the Global South. Palgrave Macmillan.
Gandhi, E.A., Pasaribu, E., Ekaputri, R.A., & Febriani, R.E. (2022). “Investasi Asing Langsung dan Pertumbuhan Ekonomi: Perbandingan Empiris Indonesia dan Singapura.” Ecoplan, 5(2), 159–170. https://doi.org/10.20527/ecoplan.v5i2.563
Goh, E., & Prantl, J. (2022). “Rethinking strategy and statecraft for the twenty-first century of complexity: a case for strategic diplomacy.” International Affairs, 98(2), 443–469. https://doi.org/10.1093/ia/iiab212
GoodStats. (2024). Indeks Perdagangan Berkelanjutan Singapura Tertinggi di ASEAN, Bagaimana Indonesia? GoodStats. https://data.goodstats.id/statistic/indeks-perdagangan-berkelanjutan-singapura-tertinggi-di-asean-bagaimana-indonesia-nJGWw
Hameiri, S., & Jones, L. (2019). Political Economy of Southeast Asia: Markets, Power and Contestation. Springer.
International Monetary Fund. (2024). “Indonesia: Selected Issues.” IMF Staff Country Reports, Vol. 2024, Issue 271. August 2024.
Lam, P.E. (2021). “Singapore-China relations in geopolitics, economics, domestic politics and public opinion: an awkward ‘special relationship’?” Journal of Contemporary East Asia Studies, 10(2), 203–217. https://doi.org/10.1080/24761028.2021.1951480
Lee, K.Y. (2000). From Third World to First: The Singapore Story 1965–2000. Singapore: Times Editions.
Narjoko, D. (2022). “The Indonesian Economy in Turbulent Times.” Bulletin of Indonesian Economic Studies. https://doi.org/10.1080/00074918.2022.2133344
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2024). “OECD Economic Surveys: Indonesia 2024.” November 2024.
The Straits Times. (2025). Singapore’s port sets new records for vessel arrivals, shipping containers handled in 2024. https://www.straitstimes.com/singapore/transport/singapores-port-sets-new-records-for-vessel-arrivals-shipping-containers-handled-in-2024
World Bank. (2024). “Indonesia Economic Prospects: Funding Indonesia’s Vision 2045.” December 2024.












