Lentera Post – Jakarta, InfoPublik – Di tengah Laut Banda yang biru keperakan, sebuah pulau kecil berdiri tenang namun sarat cerita: Banda Neira. Dikelilingi gugusan karang dan Gunung Api yang menjulang gagah, pulau ini bukan hanya saksi sejarah rempah dunia, tetapi kini juga menjadi contoh nyata bagaimana alam dan budaya bisa berpadu untuk membangun ekonomi pesisir yang berkelanjutan.
Berabad-abad lalu, aroma pala menjadikan Banda Neira incaran bangsa Eropa. Kini, masyarakat setempat tak lagi sekadar mengandalkan rempah, tetapi juga menghidupkan ekonomi dari laut dan alamnya tanpa merusak lingkungan.
Program konservasi laut dan ekowisata berbasis masyarakat perlahan menumbuhkan kesadaran baru, bahwa menjaga alam berarti menjaga masa depan.
Dulu orang hanya berpikir tentang hasil tangkapan. Sekarang mayarakat Banda Neira telah belajar bahwa karang yang sehat adalah investasi jangka panjang.
Mereka menggunakan alat tangkap selektif, menanam terumbu karang buatan, hingga membuat jalur wisata snorkeling yang dikelola bersama warga.
Banda Neira juga dikenal sebagai surga bagi penyelam dunia. Di bawah permukaan lautnya, hamparan karang dan ikan tropis menciptakan pemandangan menakjubkan. Namun, daya tarik Banda bukan hanya di bawah laut.
Melalui program “Banda Dive Heritage Trail”, wisatawan diajak menjelajahi laut sekaligus mempelajari sejarah rempah dan kehidupan masyarakat setempat. Pendapatan dari wisata ini sebagian digunakan untuk konservasi laut dan pemberdayaan ekonomi lokal, seperti pelatihan pemandu wisata dan usaha kuliner berbasis hasil laut berkelanjutan.
Warisan budaya pun menjadi bagian dari ekowisata. Rumah kolonial, benteng Belgica, hingga jejak pengasingan Bung Hatta menjadi paket tur sejarah yang terintegrasi dengan wisata alam. Dengan begitu, pelestarian lingkungan berjalan beriringan dengan pemeliharaan warisan budaya.
Tantangan Pesisir Kecil
Namun, Banda Neira bukan tanpa persoalan. Kenaikan suhu laut, abrasi pantai, dan ketergantungan pada logistik dari luar pulau masih menjadi tantangan besar.
Banda Neira itu rentan, tapi juga punya peluang besar. Jika bisa menjaga keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan sosial, Banda bisa jadi model nasional untuk ekonomi biru yang berbasis budaya.
Pemerintah daerah kini memperkuat inisiatif seperti “Desa Bahari Cerdas” dan “Kampung Iklim”, yang menekankan adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir serta peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya laut.
Model Ekonomi Biru Berbasis Budaya Maritim
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan Banda Neira sebagai model integrasi antara konservasi laut, arkeologi, dan budaya maritim.
Melalui program Laut untuk Kesejahteraan (LAUTRA), Banda Neira diproyeksikan menjadi laboratorium ekonomi pesisir yang menyeimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat pesisir.
Banda Neira merupakan contoh nyata bagaimana konservasi laut dapat berjalan berdampingan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Program LAUTRA yang dijalankan KKP menempatkan Banda Neira sebagai kawasan prioritas karena memiliki kekayaan ekosistem laut sekaligus nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Kami ingin membangun model pengelolaan laut yang tidak hanya lestari, tetapi juga mensejahterakan,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan, Koswara, dalam siaran resmi di Jakarta, Minggu (26/10/2025).
Pada Selasa (21/10/2025) lalu yang bertepatan dengan momen Bulan Bakti Kelautan dan Perikanan dalam rangka HUT ke-026 tahun KKP, telah berlangsung talk show “Pilar Ekonomi Berkelanjutan Masyarakat Pesisir Banda Neira: Integrasi Arkeologi dan Budaya Maritim” di Auditorium Soe Hok Gie, Universitas Indonesia.
Kegiatan ini menjadi ajang pertemuan gagasan antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat dalam membangun arah baru pengelolaan sumber daya laut berbasis warisan budaya.
Program Laut untuk Kesejahteraan (LAUTRA) mencakup 11 provinsi, 20 kawasan konservasi, dan 3 Wilayah Pengelolaan Perikanan dengan total area mencapai 8,3 juta hektare.
Melalui empat komponen utama penguatan kelembagaan konservasi, pembangunan ekonomi lokal, pembiayaan berkelanjutan (blue financing), dan manajemen proyek terpadu, KKP menargetkan lebih dari 75 ribu penerima manfaat langsung, termasuk 30 persen kelompok perempuan pesisir.
Pendanaan Program hingga Rp1,25 Miliar
Banda Neira dinilai sebagai pusat pengembangan ekonomi pesisir berkelanjutan yang memadukan alam dan budaya. KKP bersama mitra akademik mendorong pengembangan lima pilar utama, yakni diversifikasi ekowisata bertema sejarah dan bahari, pembentukan koperasi wisata maritim, pembangunan infrastruktur ekonomi lokal seperti dermaga wisata dan museum budaya laut, hingga pelatihan masyarakat menjadi storyteller dan pemandu wisata budaya bersertifikat.
“Pendanaan program dilakukan melalui tiga skema hibah mulai dari micro grant Rp150 juta hingga matching grant Rp1,25 miliar untuk mendukung UMKM biru yang ramah lingkungan. Kami ingin memastikan ekonomi tumbuh tanpa merusak laut,” ujar Direktur Jasa Bahari Ditjen, Pengelolaan Kelautan KKP, Enggar Sadtopo.
Dari sisi akademik, Dr. Muhammad Farid, Rektor Universitas Banda Neira, menyebut Banda Neira sebagai “laboratorium hidup” pembangunan berkelanjutan yang menuntut kolaborasi lintas sektor.
Sementara Dr. Kastana Sapanli dari IPB University menegaskan potensi besar Banda Neira sebagai bagian dari Coral Triangle dan Spice Islands, yang ideal untuk pengembangan eco-diving, heritage spice tourism, dan agrowisata pala.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menekankan pentingnya keseimbangan antara perlindungan ekosistem laut, pemberdayaan masyarakat pesisir, dan pengembangan ekonomi biru berkelanjutan sebagai pilar utama pembangunan kelautan nasional.
Harmoni yang Terjaga
Saat matahari tenggelam di ufuk barat, warna jingga membalut langit Banda Neira. Senja pun datang untuk menyambut bulan. Suasana Banda Neira kembali tenang.
Di tepi pantai, anak-anak bermain bola, sementara para ibu menjemur pala di bawah langit berwarna jingga. Di seberang, Gunung Api Banda berdiri sebagai penjaga abadi, seolah mengingatkan bahwa keseimbangan alam harus dijaga dengan bijak.
Di sinilah harmoni itu terasa—antara alam yang dijaga, budaya yang dirawat, dan ekonomi yang tumbuh dari akar lokal. Banda Neira bukan lagi sekadar peninggalan sejarah, tetapi contoh nyata bagaimana sebuah pulau kecil bisa memadukan warisan dan masa depan.
Banda mengajarkan satu hal penting: bahwa keberlanjutan bukan sekadar jargon, melainkan cara hidup. Alam menjadi sumber penghidupan, budaya menjadi jati diri, dan keduanya menyatu dalam denyut ekonomi pesisir yang tak hanya menguntungkan manusia, tapi juga memuliakan bumi.












