Lentera Post – Jakarta, InfoPublik – Pemerintah menegaskan pentingnya menciptakan lingkungan bisnis digital yang sadar dan kondusif bagi pertumbuhan startup di Indonesia. Menurut Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), Edwin Hidayat Abdullah, peran pemerintah tidak cukup hanya membuat regulasi atau memberi insentif, tetapi harus memastikan adanya kolaborasi lintas sektor yang membangun ekosistem usaha yang sehat dan berkelanjutan.
“Peran pemerintah adalah menciptakan lingkungan yang sadar dan kondusif agar semua pelaku usaha dapat tumbuh. Itu mandat konstitusi kita untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat,” ujar Edwin dalam Tech in Asia Conference 2025, di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Dalam paparannya, Edwin menyebut bahwa sebagian besar kegagalan startup di Indonesia bukan disebabkan oleh kebijakan atau regulasi pemerintah, melainkan faktor internal perusahaan itu sendiri.
Hasil kajian yang ia sampaikan menunjukkan empat penyebab utama kegagalan startup:
Kelemahan pendiri (founder) dalam manajemen dan tata kelola bisnis;
Ketidaksesuaian produk dengan kebutuhan pasar;
Kegagalan dalam proses inovasi berkelanjutan;
Kegagalan membangun tim yang solid saat ekspansi (scale-up).
“Banyak inovator hebat, tapi belum memiliki kapasitas manajerial yang kuat. Produk bagus pun akan gagal kalau timnya tidak mampu tumbuh bersama,” ujarnya.
Dirjen Edwin menegaskan bahwa pemerintah harus membantu menciptakan “lingkungan yang sadar” di mana pelaku usaha bisa belajar dari kesalahan dan meningkatkan kapasitasnya, bukan sekadar diberikan pelatihan tanpa arah.
Lebih lanjut, Edwin Hidayat Abdullah menilai kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi kunci keberhasilan pengembangan ekosistem startup nasional.
Menurutnya, pemerintah dapat berperan dalam kebijakan dan penyediaan infrastruktur digital, sementara pelaku swasta menjadi motor inovasi. “Kalau pemerintah hanya memberi relaksasi regulasi atau subsidi tanpa arah yang jelas, hasilnya tidak optimal. Semua pihak harus terlibat aktif,” tegasnya.
Ia juga mengajak para tokoh industri digital, termasuk investor dan pendiri startup senior seperti Pao Wilson dan Zaty (pendiri Bukalapak), untuk berperan dalam membimbing generasi startup baru di Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Edwin menyoroti besarnya potensi ekonomi digital nasional. Sepuluh tahun lalu, nilai transaksi e-commerce (gross merchandise value / GMV) Indonesia masih nol, namun kini telah mencapai USD90 miliar, atau sekitar 8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. “Pada 2030, ketika PDB kita mencapai sekitar USD1,7 triliun hingga USD1,8 triliun, GMV e-commerce bisa menembus USD200 miliar. Peluangnya luar biasa besar,” ujarnya.
Ia menilai pertumbuhan pesat ini menunjukkan potensi Indonesia untuk melahirkan lebih banyak startup besar (unicorn) seperti Bukalapak, Tokopedia, dan Gojek. Namun untuk mencapainya, ekosistem bisnis harus memperkuat fondasi internalnya: sumber daya manusia, tata kelola, dan integritas tim.
Oleh karena itu, Edwin Hidayat Abdullah, menekankan bahwa ekosistem digital Indonesia tidak boleh terjebak pada pesimisme akibat berita-berita negatif terkait sektor startup, seperti PHK massal atau penurunan investasi.
Sebaliknya, ia mengajak seluruh pelaku untuk menumbuhkan optimisme dan semangat kolaborasi dalam membangun masa depan ekonomi digital nasional. “Kita tidak bisa hanya membiarkan berita negatif berkembang. Pemerintah dan industri harus bersama-sama menciptakan solusi nyata untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa,” pungkasnya.
Pernyataan Edwin mencerminkan arah baru kebijakan Kementerian Komunikasi dan Digital yang berfokus pada penguatan ekosistem startup melalui pemberdayaan sumber daya manusia, literasi digital, dan tata kelola bisnis yang berkelanjutan.
Kementerian ini juga tengah menyiapkan Program Ekosistem Digital Nasional 2026, yang akan memperkuat sinergi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif.