Aku tidak pernah percaya pada kata “seremonial,” apalagi jika itu berhubungan dengan perjuangan. Hari ini, 1 Mei 2025, aku berdiri di tengah kerumunan ribuan orang di Simpang Tugu Yogyakarta, tepat di jantung kota yang menjadi simbol bagi kami, buruh, mahasiswa, dan aktivis sosial yang berjuang untuk keadilan. Pagi itu, terik matahari menyengat kulit, namun semangat kami tetap menyala, membakar tekad untuk melawan.
Tentu, aku bukan satu-satunya yang merasakannya. Di sekitar, ada banyak wajah-wajah yang sudah lama mengenal penderitaan. Buruh dari berbagai sektor, mahasiswa dari kampus-kampus terkemuka seperti UGM, hingga aktivis yang terlibat dalam perjuangan hak-hak pekerja. Kami semua berkumpul untuk satu tujuan: menolak militerisme dan memperjuangkan kesejahteraan yang layak. Kami berteriak lantang, tidak hanya untuk diri kami, tetapi juga untuk mereka yang tak bisa bersuara.
Spanduk-spanduk besar bertuliskan “Stop Militarisasi! Upah Layak untuk Keadilan Sosial!” memenuhi udara. Ada juga poster-poster yang penuh dengan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang terus melukai hak-hak dasar kami. Aku bisa melihat kebanggaan di mata banyak orang, meskipun wajah mereka basah dengan keringat. Hari ini bukan soal seremoni atau perayaan, ini tentang melawan ketidakadilan yang sudah bertahun-tahun mendera kami. Dan aku tahu, kami tidak akan diam.
Aku berdiri di samping seorang koordinator aksi yang dengan penuh semangat mengarahkan massa untuk menyuarakan tuntutannya. “Kami menentang segala bentuk represi terhadap buruh, termasuk penggunaan aparat untuk membungkam suara kami!” serunya dengan lantang. Aku melihat sorotan mata para demonstran—mata yang penuh dengan harapan dan kemarahan yang terpendam lama. Mereka menginginkan perubahan. Mereka menginginkan keadilan.
Di tengah aksi, aku mendengar orasi lainnya. Tuntutan utama kami adalah jelas. Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) menjadi Rp 4 juta. Penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang telah merugikan begitu banyak pekerja. Perbaikan jaminan sosial dan kesehatan yang kini jauh dari memadai. Kami juga menuntut penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI yang dianggap menghidupkan kembali dwifungsi militer, yang berpotensi menggiring militer untuk kembali terlibat dalam urusan sipil—urusan yang seharusnya menjadi domain pekerja dan rakyat.
Kami berdiri tegak, dan aku bisa merasakan semangat itu mengalir melalui setiap kata yang diucapkan. Tidak ada ruang untuk keraguan. Kami menuntut perlindungan hukum yang lebih baik bagi pekerja perempuan dan anak, serta peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja. Setiap tuntutan adalah suara bagi mereka yang tak punya kekuatan untuk berbicara. Setiap orasi adalah peringatan bagi pemerintah dan pengusaha yang menganggap kami sebagai angka dalam spreadsheet mereka.
Namun, tidak hanya buruh yang turun ke jalan. Mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta, termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM), juga ikut serta. Mereka turut menolak Rancangan Undang-Undang TNI yang menurut mereka, akan mengembalikan kekuasaan militer dalam urusan sipil. Mereka ingat betul perjuangan Reformasi 1998, dan mereka tidak ingin demokrasi yang telah diperjuangkan dengan darah, air mata, dan pengorbanan, dikikis sedikit demi sedikit oleh regulasi yang tak berpihak pada rakyat. Aku pun merasakannya. Semangat reformasi itu harus terus hidup. Jika tidak, kita akan kembali ke zaman yang gelap.
Namun, ada satu isu yang terus mengemuka dalam diskusi kami—militerisme. Wacana penggunaan TNI untuk mengawal proyek-proyek strategis nasional, termasuk kawasan industri, sangat mencemaskan kami. Aktivis dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) berbicara dengan lantang, mengkritik keras ide ini yang berpotensi membungkam hak-hak kami untuk berserikat dan melakukan aksi mogok kerja. “Militerisasi hanya akan menguntungkan pemodal dan mengancam demokrasi buruh,” ujarnya. Aku merasa tegang mendengarnya. Jika ini benar terjadi, maka perjuangan kami akan semakin sulit. Negara yang mengandalkan militer untuk mengontrol rakyatnya, tidak akan pernah peduli pada kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Lebih lanjut, data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyebutkan bahwa dalam setahun terakhir, ada 15 kasus kriminalisasi terhadap aktivis buruh di Yogyakarta. Semakin jelas, bahwa negara yang membiarkan kekerasan terhadap kami bukan lagi negara yang memihak rakyat, melainkan negara yang menindas. Aku bisa merasakan betapa besar ketakutan yang melanda teman-temanku, namun juga keberanian yang menyatu dengan semangat untuk terus berjuang.
Dalam aksi itu, aku juga melihat simbol-simbol perlawanan yang kuat. Beberapa teman membacakan puisi yang penuh makna, mengingatkan kami semua tentang keadilan sosial. Salah satunya adalah ayat Al-Qur’an yang tertera di salah satu poster besar:
“Jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak berbuat zalim dan tidak dizalimi.”
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak merenungkannya. Begitu mendalam maknanya, terutama bagi kami yang terus diperjuangkan hak-haknya. Ada juga hadis riwayat Bukhari yang diteriakkan:
“Berikan upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
Kata-kata itu menggema di pikiranku. Kami bukan hanya berjuang untuk upah yang adil, tetapi untuk hak-hak dasar yang harus kami terima sebagai manusia. Ini lebih dari sekadar uang—ini adalah tentang martabat kami.
Sekitar pukul 15.00 WIB, setelah beberapa jam berorasi, massa mulai membubarkan diri dengan tertib. Kami sudah menyampaikan tuntutan kami kepada perwakilan pemerintah daerah. Namun, aku tahu, perjuangan ini belum berakhir. Koordinator aksi dengan tegas mengingatkan kami, “Jika tuntutan kami tidak direspons dalam seminggu, kami akan kembali turun ke jalan.” Kami semua sepakat, perlawanan ini akan terus berlanjut.
Aku menatap Simpang Tugu Yogyakarta, tempat yang menjadi saksi bisu perjuangan kami. Hari ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah perjuangan panjang yang tidak akan kami biarkan padam. Sebab, May Day bukan hanya untuk mengenang, tetapi untuk terus memperjuangkan hak-hak yang tak kunjung kami dapatkan. Kami tidak akan diam.