Aksi koreografi dan pyro show yang dilakukan oleh Brigata Curva Sud (BCS), kelompok suporter setia PSS Sleman, kembali mengundang perdebatan publik. Peristiwa tersebut terjadi saat laga kandang PSS dan langsung menjadi sorotan di berbagai media sosial. Reaksi publik pun beragam—dari kekhawatiran hingga pembelaan. Sebagian besar komentar menyayangkan aksi tersebut karena dianggap melanggar aturan liga dan bisa berdampak pada performa Tim Nasional Indonesia, yang saat ini sedang dalam tren positif. Namun, tidak sedikit juga yang membela aksi itu sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap manajemen klub.
Kontroversi ini menunjukkan betapa kompleksnya dunia suporter di sepak bola Indonesia. Pyro show yang menyalakan suar dan kembang api di tribun dianggap oleh banyak orang sebagai tindakan berisiko, sementara oleh pelakunya justru dianggap sebagai simbol cinta dan loyalitas terhadap tim kebanggaan.
Kritik dan Kekhawatiran Publik
Setelah kejadian tersebut, berbagai reaksi negatif bermunculan. Banyak netizen menyuarakan kekhawatiran bahwa tindakan seperti ini bisa membuat klub mendapatkan sanksi dari operator liga. Bahkan, beberapa komentator olahraga menyebut bahwa aksi BCS mencerminkan rendahnya kesadaran hukum atau kedisiplinan suporter Indonesia.
Beberapa opini menyebut bahwa dukungan seharusnya diberikan dengan cara-cara yang lebih “sopan” dan “tertib.” Mereka berpendapat bahwa atmosfer stadion yang aman dan tertib jauh lebih penting daripada aksi teatrikal yang berisiko mengganggu jalannya pertandingan atau membahayakan penonton lain.
Namun, pernyataan tersebut justru memicu kontra-reaksi dari komunitas suporter. Banyak yang menilai bahwa komentar semacam itu muncul dari mereka yang tidak benar-benar memahami dunia suporter atau bahkan tidak pernah terlibat langsung dalam atmosfer tribun.
Budaya Ultras dan Romantika Tribun
Untuk memahami fenomena pyro show, penting untuk melihat budaya suporter dari kacamata yang lebih luas. Kelompok seperti BCS menganut kultur ultras, sebuah gaya mendukung tim yang lahir dari tribun-tribun sepak bola Italia. Budaya ini menekankan loyalitas tanpa batas, kreativitas dalam mendukung tim, serta semangat kolektif untuk menciptakan atmosfer stadion yang bergelora.
Dalam kultur ultras, nyanyian, koreografi, hingga pyro show adalah bagian dari ritual mendukung tim. Mereka tidak sekadar datang untuk menonton, tetapi berjuang bersama tim di tribun. Pyro show yang mereka nyalakan bukan bentuk anarki, tetapi bentuk simbolis dari semangat dan perjuangan mendukung klub.
Di Italia, Jerman, dan beberapa negara Eropa lainnya, aksi-aksi seperti ini dianggap sebagai bagian dari “atmosfer stadion” yang justru memperkaya nilai hiburan sepak bola. Tentu saja, tetap ada regulasi dan batasan keamanan, tetapi pendekatannya lebih dialogis daripada represif.
Antara Regulasi dan Ruang Ekspresi
Di Indonesia, regulasi liga memang melarang penggunaan flare atau benda-benda piroteknik karena alasan keamanan. Larangan ini sah secara hukum, namun sering kali tidak dibarengi dengan pendekatan yang mampu memahami esensi dari aksi tersebut.
Akibatnya, terjadi benturan antara regulasi dengan kultur yang sudah terbentuk dalam dunia suporter. Banyak dari mereka merasa bahwa gairah mendukung tim perlahan dikekang oleh aturan yang kaku. Mereka merasa tidak diberi ruang untuk mengekspresikan cinta dan kecewa terhadap tim dalam bentuk yang mereka anggap wajar.
Jika dilihat dari sisi lain, aksi pyro show ini juga bisa dibaca sebagai bentuk kritik sosial terhadap manajemen klub. Dalam kasus BCS, mereka menyampaikan kekecewaan terhadap manajemen PSS Sleman yang dinilai tidak becus dalam mengelola tim. Dengan kata lain, pyro show menjadi media ekspresi yang kuat dan penuh makna, meski tidak semua orang mampu membacanya demikian.
Mencari Titik Temu: Dialog, Bukan Represi
Daripada terus terjadi benturan antara suporter dan pengelola liga, mungkin sudah saatnya kita mencari pendekatan baru yang lebih solutif. Suporter bukan musuh sepak bola, mereka adalah bagian penting dari denyut hidupnya. Dukungan mereka, loyalitas mereka, dan atmosfer yang mereka ciptakan adalah elemen vital dalam pertumbuhan industri sepak bola nasional.
Dibutuhkan ruang dialog antara pihak operator liga, klub, dan komunitas suporter untuk mencari titik temu yang adil. Pendekatan yang hanya mengandalkan sanksi dan larangan justru berpotensi menciptakan jarak emosional yang berbahaya di masa depan. Sebaliknya, edukasi, pelibatan, dan komunikasi dua arah bisa membuka jalan baru bagi lahirnya sepak bola yang lebih inklusif dan bermartabat.
Pyro show memang bukan tanpa risiko, tetapi juga bukan semata tindakan vandalisme seperti yang sering digambarkan. Ia adalah simbol dari gairah, cinta, dan identitas kelompok yang tumbuh dari tribun-tribun stadion. Menyikapinya dengan pemahaman kultural dan pendekatan dialogis adalah langkah penting untuk menjembatani dunia suporter dengan regulasi liga.
Sepak bola bukan sekadar soal menang dan kalah. Ia adalah budaya, emosi, dan kebersamaan. Dan di dalamnya, suporter memegang peran yang tak tergantikan.