88 Ribu Rupiah Petualangan: Menyusuri Jawa dengan Sri Tanjung dari Lempuyangan ke Gubeng yang Megah”

Oleh: Nashrul Mu’minin, Content Writer Yogyakarta

Pukul 05.30 WIB, fajar baru saja menyingsing di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta ketika aku melangkah menuju peron dengan tiket KA Sri Tanjung seharga Rp88.000 di genggaman. Embun pagi masih menempel di kursi besi tua yang sudah berkarat, bercerita tentang jutaan kisah perjalanan yang pernah singgah di sini. Kereta ekonomi legendaris ini ternyata masih setia mengantar penumpang melintasi Jawa Timur dengan harga yang tak berubah sejak zaman kuliah ibuku dulu.

Suasana Lempuyangan pagi itu seperti lukisan hidup. Pedagang nasi kucing berteriak-teriak menawarkan sarapan, sementara sekelompok mahasiswa dengan tas ransel besar tertawa riang sambil menunggu kereta. Bau kopi pahit dari warung dekat loket bercampur dengan aroma besi tua dari rel kereta. Aku memilih duduk di dekat jendela, mempersiapkan diri untuk perjalanan 8 jam menuju Surabaya yang penuh kejutan.

Begitu kereta meluncur, panorama Yogyakarta perlahan berganti. Sawah-sawah hijau di luar kota, anak-anak SD yang melambaikan tangan dari balik pagar sekolah, hingga pemandangan Gunung Lawu yang megah di kejauhan. KA Sri Tanjung bergerak pelan tapi pasti, memberi kesempatan untuk menikmati setiap detil perjalanan.

Tiba-tiba, seorang nenek paruh baya duduk di sebelahku. “Dulu tahun 90-an, aku sering naik kereta ini untuk menjual batik ke Surabaya,” katanya sambil membuka bungkusan nasi liwet. Aku tersenyum mendengar ceritanya, menyadari bahwa kereta ini bukan sekadar transportasi, tapi bagian dari sejarah hidup banyak orang.

Perjalanan terasa semakin hidup ketika kereta melintasi wilayah Madiun. Di luar jendela, terlihat petani sedang membajak sawah dengan kerbau, pemandangan yang semakin langka di era traktor modern. Beberapa stasiun kecil yang kami lewati masih mempertahankan arsitektur kolonial Belanda, seolah membeku dalam waktu.

Sekitar pukul 13.00 WIB, kereta mulai memasuki wilayah Surabaya. Yang mengejutkanku adalah transformasi Stasiun Gubeng yang sekarang tampak seperti bandara modern. Lantai marmer mengkilap, plafon tinggi dengan lampu gantung elegan, dan area tunggu yang nyaman dengan charging station di setiap sudut. Sungguh kontras dengan kesan kumuh yang melekat di ingatanku saat berkunjung lima tahun lalu.

“Awalnya saya tidak percaya ini Stasiun Gubeng,” ujar Tono, seorang mahasiswa yang kutemui di food court baru. “Dulu tempat ini pengap dan kotor, sekarang malah seperti mall.” Memang, renovasi besar-besaran telah mengubah wajah stasiun ini menjadi pusat transportasi yang modern tapi tetap mempertahankan ciri khasnya.

Yang menarik, di balik kemegahan Gubeng baru, masih tersimpan kenangan masa lalu. Aku menemukan relief sejarah perkeretaapian Indonesia di dinding barat stasiun, serta jam besar khas stasiun yang tetap dipertahankan sebagai penanda waktu. Perpaduan antara yang klasik dan modern ini membuat Gubeng baru terasa istimewa.

Perjalanan dengan KA Sri Tanjung seharga Rp88.000 ini bukan sekadar berpindah tempat, tapi seperti menelusuri lorong waktu. Dari kesederhanaan Lempuyangan yang autentik hingga kemegahan Gubeng yang futuristik, semuanya bercerita tentang Jawa yang terus berubah tapi tak pernah kehilangan jiwanya.

Puisi 

Delapan puluh delapan ribu rupiah……  

Membeli cerita sepanjang rel……

Dari Lempuyangan yang jujur…..

Ke Gubeng yang kini berganti jelita….

Kereta tua masih setia berlari….

Membawa kenangan dan asa baru……

Di antara Jawa yang tak pernah tiduri…

Kisah kita terus bertumbuh….

Aku turun dari kereta dengan senyum lebar, menyadari bahwa petualangan terbaik seringkali datang dari hal-hal sederhana. Dan KA Sri Tanjung dengan harga Rp88.000-nya telah memberiku salah satu pengalaman perjalanan paling berkesan dalam hidupku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *